BAB 4 : Sang Penunggu Malam
SANG PENUNGGU MALAM
BAB 5 - ANTARA MELANJUTKAN ATAU MENYERAH
Untuk bab sebelumnya, follow akun ini dan baca postingan sebelumnya, cerita ini update Senin dan Kamis
Kalau sudah follow, mari kita lanjutkan.
Aku baru saja sampai kampus ketika lima menit lagi mata kuliahku dimulai, rasa kantuk dengan tubuhku yang pegal-pegal terasa di sepanjang jalan ketika Dayat mengantarkanku di pagi itu.
Aku berterima kasih kepada Dayat karena dia sudah mengantarkanku ke tempat ini, Dayat hanya berpesan, kalau aku harus memperjuangkan apa yang sedang aku lakukan, karena kuliah ini lebih penting, sama seperti yang kakakku katakan ketika dia bekerja di rumah sakit itu.
Dia rela bertahan, menganggap bahwa semua itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kuliahku, dan hal itu yang harus aku pegang.
Aku berterima kasih atas ucapannya, karena aku tahu bahwa kakakku sangat menginginkan aku tak putus kuliah, sehingga dia terus bertahan hingga hari terakhirnya.
Tak banyak basa-basi dengan Dayat, aku langsung meninggalkannya dan pergi ke salah satu kamar mandi kampus yang berada di dekat kelasku.
Aku mandi seadanya, melepas baju kerja kakak yang aku pakai, dan langsung masuk ke kelas tanpa membawa apa-apa.
Aku hanya membawa tas yang berisi perlengkapanku, aku tidak membawa buku untuk kuliah karena aku tidak tahu akan seperti ini jadinya.
Di dalam kelas pun, aku hanya diam, ketika dosen datang dan menjelaskan materi kuliah di pagi itu.
Aku duduk di salah satu kursi di bagian belakang, berusaha keras untuk fokus kepada dosen yang memberikan materi di depan.
Namun, pikiranku terus-menerus teringat kepada percakapan Dayat denganku di dalam mobil itu, hall itu terus teringat olehku, sehingga aku tidak bisa fokus dengan dosen yang ada di depan sana.
"Sebenarnya, rumah sakit itu tempat apa sih? kenapa kakak harus bekerja di tempat seperti itu. Lalu, perkataan Dayat dengan membawa jiwa-jiwa yang masih berkeliaran di rumah sakit itu apa? dan apa hubungannya dengan kejadian yang terjadi setahun yang lalu sehingga rumah sakit itu pindah?" gumamku sambil sedikit melamun di kelas.
"Ini kakakku jadi dukun atau gimana sih? toh kan dia ga bisa apa-apa, nonton hantu di bioskop aja ketakutan dia?"
Percakapan itu berputar di kepala, aku takut bahwa kematian kakakku berhubungan dengan semua ini, tapi hal ini menjadi semakin misterius ketika semuanya belum terungkap.
"Arghh, kenapa jadi pusing gini," gumamku kembali sambil mengerutkan dahiku sekarang.
Sosok perempuan yang muncul di Bangsal Melati, pria tua yang hangus dan keluar dari loker mayat yang disebut oleh Dayat 'Dukun' itu, apakah itu bagian dari tugas yang A Ardi pikul selama ini?
Lalu? apakah peraturan yang dia tulis bukanlah sekedar peraturan bagi para penjaga malam, melainkan sebuah prosedur kerja yang harus dia kerjakan untuk berinteraksi dengan dunia lain yang ada di dalam rumah sakit itu.
Bukan hanya itu saja, di dalam catatan itu ada kopi pahit dan sesajen, dan aku juga melihat hal itu di kamar mayat yang aku masuki semalam.
"Wisnu? kenapa ngelamun?"
Aku yang terdiam cukup lama tiba-tiba dikejutkan dengan salah satu temanku yang menyadarkan lamunanku pada saat itu.
"Udah beres kelasnya, kamu ga akan keluar dari kelas ini?" tanyanya dengan pelan.
Aku melirik ke seluruh ruangan, dan ruangan itu sudah hampir kosong.
Hanya beberapa mahasiswa yang masih aku lihat ketika sedang merapikan laptop yang mereka bawa.
Saking fokusnya aku berfikir tentang misteri yang ada di dalam rumah sakit itu, aku sampai tidak sadar ketika dosen yang ada di kelas itu sudah selesai mengajar dan meninggalkan ruangan itu sekarang.
Dengan kepalaku yang sedikit pusing ketika lepas dari lamunan itu, aku hanya mengangguk dan mulai berdiri sambil membawa tas yang aku simpan dibawa kursi.
Aku pun mempersilahkan mereka untuk berjalan duluan, dan saat aku keluar dari gedung fakultas itu, aku pergi ke sebuah tempat dimana aku bisa menyendiri sebentar.
Aku melamun kembali tentang semuanya, dan disanalah, aku akhirnya membuat sebuah keputusan atas apa yang akan aku lakukan.
"Apa aku tidak perlu kembali saja ya?" gumamku.
Keputusan itu mungkin terasa melegakan pikiran dan jiwaku, setelah mengalami pengalaman yang menyeramkan di hari pertama aku bekerja, sepertinya aku lebih baik untuk mencari pekerjaan lain yang lebih waras.
Aku mungkin tidak sekuat A Ardi, dia mungkin bisa menanggung semuanya dengan sebuah keanehan dan misteri yang ada di rumah sakit itu.
Bahkan, dia bisa terus bertahan hingga nyawanya terenggut di dalam rumah sakit itu beberapa hari yang lalu.
Jujur, aku ingin sekali mengungkap kematian yang janggal itu. Tapi, aku seperti tidak sanggup dengan hal itu semua, sehingga setelah seharian aku berfikir, aku memutuskan untuk mundur dari itu semua, dan aku lebih memilih hal lain yang lebih tenang untuk aku yang harus melanjutkan hidup, tanpa ada A Ardi yang menjadi support bagiku pada saat itu.
Sebuah keputusan itu tanamkan di dalam otakku, dan setelah keputusan itu bulat dan akan aku lakukan, aku akhirnya pulang dan sampai ke kontrakanku sekarang.
Aku sudah membayangkan sepanjang jalan bahwa aku akan menelepon Pak Wijaya pada sore ini, mengucapkan terima kasih dan menolak pekerjaan itu dengan sopan.
Aku akan mencari pekerjaan lain, mungkin di kafe, atau menjaga toko buku dekat kampus.
Bisa juga kerja serabutan seperti menjaga kios kaki lima setiap malam dekat kostan yang tak jauh dari kampus yang ramai itu.
Gajinya memang tidak seberapa, tapi setidaknya aku bisa tidur dengan nyenyak di malam hari, tanpa harus dihantui wajah yang hangus atau bau anyir darah yang muncul dari dalam kamar mayat.
Namun, semua hal itu tiba-tiba menguap ketika aku membuka pintu kontrakanku yang sempit ini.
Suasana sepi dan senyap langsung menyergapku, mengingatkanku bahwa kini aku sendirian di tempat ini.
Jaket A Ardi masih menggantung di belakang pintu, sepatunya yang lusuh masih tergeletak begitu saja di dalam rak, dan semua barang miliknya seolah-olah masih menunggunya pulang.
Hal itu kembali menusuk hatiku dengan tajam, rasanya kematiannya akan sia-sia ketika aku meninggalkan itu semua.
Bukan hanya itu saja, pandanganku berbalik kepada secarik kertas yang tergeletak di atas meja kecil yang berada di samping tumpukan dus minuman yang belum sempat aku bereskan.
Sebuah amplop dengan logo universitas yang berisi surat tagihan pembayaran semester yang baru, dan jatuh temponya akhir bulan ini.
Bukan hanya itu saja, aku juga harus mengingat bahwa rumah yang kami tempati ini adalah kontrakan, yang harus aku bayar tiap bulan sekarang.
Aku langsung menghela napas, di dalam pikiranku langsung muncul ingatan A Ardi yang selalu berhitung keras setiap akhir bulan, menyisihkan sebagian uangnya untuk bayar kontrakan, untuk hidup kami sebulan, dan untuk biaya sekolahku.
Wajahnya kadang tegang, dia takut gaji yang diterima tidak cukup untuk hidup berdua, kadang usahanya membuat dia harus meminta maaf, ketika ada salah satu keinginanku yang harus ditahan akibat gaji yang dia dapatkan tidak cukup untuk membayar itu semua.
Aku langsung terduduk lemas di lantai, aku kini baru menyadari bagaimana pusingnya A Ardi ketika harus hidup dengan semua ini.
Wajar saja kalau dia rela bekerja siang dan malam di rumah sakit itu, hal itu semata-mata dia lakukan agar kami bisa hidup untuk satu bulan kemudian.
Aku melirik surat tagihan kampus itu, rasanya hal itu lebih menyeramkan daripada bayangan hangus si dukun di dalam kamar mayat, atau sosok perempuan yang mengerikan di Bangsal Melati yang kembali terngiang-ngiang di kepalaku.
Haaaaahhh
Aku menghela napas panjang, sebuah keputusan yang sudah aku putuskan di kampus mendadak buyar.
Aku bisa saja meninggalkan pekerjaan itu, tapi aku tidak bisa membayar tagihan kampus di akhir bulan ini.
Aku berfikir sejenak, apakah apabila aku mencari pekerjaan yang lain apakah aku bisa membayar semuanya.
Pekerjaan di kafe? mungkin itu hanya cukup untuk makan dan membayar kontrakan bulanan, itu juga kalau aku bisa bekerja dengan cepat di beberapa waktu ini.
Bukan hanya itu saja, aku tidak akan bisa menabung sebanyak itu untuk membayar biaya kuliah, dan hal itu akan membuat kuliahku berhenti, dan semua pengorbanan A Ardi menjadi sia-sia.
Semua kerja kerasnya, semua kejadian malam yang mungkin mengerikan baginya, dan juga pengorbanannya sehingga dia kehilangan nyawa di tempat itu membuat semuanya sirna karena rasa takutku karena rumah sakit itu.
Jujur, aku putus asa sekarang, sebuah keputusan yang sulit untuk aku putuskan. Aku hanya bisa menatap sekeliling kontrakan yang kini semakin luas dan terasa kosong ketika A Ardi sudah tiada.
Sebenarnya, apa yang terjadi dengan hidupku ini? dulu ketika ada A Ardi, dia selalu melindungiku, dia selalu berkata bahwa aku tidak perlu memikirkan semua ini, semua biaya hidup dan kuliah akan ditanggung olehnya.
Aku berjanji bahwa ketika aku lulus dan bisa bekerja dengan mapan, aku akan mengurusnya, dan aku tidak akan membiarkan dia bekerja keras untukku lagi ketika aku sudah bekerja.
Tapi sekarang, aku sendirian, benar-benar sendirian, aku kini dihadapkan dengan dua pilihan yang sama-sama mengerikan, rumah sakit yang mengerikan itu, atau mengubur mimpiku dalam-dalam.
Air mata kembali muncul di kedua mataku. Aku menangis dalam diam di kontrakan tersebut, membiarkan rasa takut, sedih, dan putus asa membanjiri diriku sendiri.
Aku menangisi semuanya, kepergian A Ardi, menangisi nasibku yang malang, dan lebih dari itu, aku menangisi kelemahanku sendiri sekarang.
Setelah beberapa lama, tangisku mereda, menyisakan keheningan dan sebuah isakan kecil di dalam kontrakan itu.
Aku masih duduk di lantai dan memandangi surat tagihan yang ada di tanganku.
Lalu, pandanganku kembali ke jam dinding yang kini sudah menunjukan jam tiga sore.
Sebuah pilihan harus aku buat, jauh di dalam hatiku aku kini tahu pilihan apa yang harus aku ambil.
Ini bukan lagi tentang keberanian, tapi tentang tanggung jawab, sebuah tanggung jawab kepada diriku sendiri, dan yang lebih penting, ada sebuah tanggung jawab untuk almarhum kakakku sendiri sekarang.
Aku pun akhirnya bangkit, pergi ke belakang kontrakan untuk membersihkan diri, lalu setelah itu, aku mengganti semua bajuku dan mencari seragam baru di lemari kakakku dan memakainya.
Setelah itu, aku kembali berjalan ke arah ruangan depan, membawa buku dan laptop untuk kuliahku agar kejadian tadi pagi tidak terjadi lagi.
Dan tak lama kemudian, aku membuka pintu kontrakanku, dan aku pergi ke Rumah Sakit Wangsa Medika, untuk mulai menjalani malam-malamku di tempat itu kembali.
***
Ketika aku tiba di parkiran rumah sakit yang megah dan modern itu, sedan hitam yang biasa dikendarai oleh Dayat sudah terparkir di parkiran belakang.
Namun disana, Pak Dayat tidak sendirian, di sampingnya berdiri Bu Rina yang nampak sedang berbincang serius pada saat itu.
Dari gestur Bu Rina, dia seperti meremas tangannya seperti sedang cemas. Aku yang berjalan di antara deretan mobil yang terparkir secara tidak sengaja mendengar percakapan mereka pada saat itu.
"Apa dia akan datang lagi? soalnya sudah jam segini tapi anak itu belum datang," kata Bu Rina dengan wajah yang sedikit agak pucat.
"Aku tahu tentang yang terjadi kemarin dari Pak Tisna, dan hal itu membuatku khawatir, seharusnya Pak Wijaya tidak langsung menyuruh dia untuk menggantikan kakaknya, karena takutnya dia tidak kuat dengan apa yang terjadi disana."
"Kamu tahu sendiri kan apa yang terjadi dengan kakaknya, dia seperti itu karena dia sedang mencari....."
"Bu..." potong Dayat dengan nada yang santai.
"Percaya denganku, dia akan datang, jadi tunggu saja."
Entah apa yang mereka bicarakan sehingga Bu Rina begitu khawatir apabila aku tidak kembali untuk bekerja, namun Dayat nampak santai dan merokok di depan mobil sedan itu ketika Bu Rina berbicara dengannya.
Di saat itulah, langkah kakiku menghentikan obrolan mereka berdua, keduanya langsung menoleh ke arahku, dan terlihat wajah Bu Rina masih sedikit pucat, sementara Dayat kini tersenyum tipis, seolah-olah dia tahu bahwa aku akan datang dan melanjutkan pekerjaan kakakku ini di tempat tersebut.
"Tuh, benar kan apa yang aku katakan," katanya pelan ke arah Bu Rina.
Aku yang datang langsung menunduk pelan, aku langsung memasang ekspresi yang sedikit lelah dan malu karena sedikit telat untuk datang ke rumah sakit itu.
"Maaf, Pak, Bu... aku terlambat, tadi pulang dari kampus aku ketiduran di kontrakan, mungkin karena belum terbiasa bekerja malam jadi tubuhku butuh menyesuaikan diri," kataku yang berbohong kepada mereka berdua.
Bu Rina mengangguk pelan, raut wajahnya yang awalnya tegang kini berubah kembali secara perlahan,
Namun, aku masih bisa melihat sisa-sisa ketakutan di matanya, seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan sehingga dia memasang raut wajah yang seperti itu.
"Wisnu..." kata Dayat sambil melempar rokok yang habis dia hisap ke arah pinggiran mobil yang ada di dekatku.
"Ayo masuk, nanti keburu malam, Pak Tisna kayaknya sudah nungguin kamu disana, karena banyak hal yang harus kamu ketahui agar kejadian semalam tidak kamu alami lagi," ajak Dayat sambil membukakan pintu belakang untukku.
Aku mengangguk pelan, lalu aku pun masuk dan duduk di belakang. Dayat tampaknya tidak langsung masuk, dia mengobrol sebentar dengan Bu Rina, dan setelah itu Bu Rina seperti mengambil sesuatu di belakang tiang parkir yang ada di dekatnya.
Sebuah kantong kresek hitam yang isinya tidak bisa aku tebak, Pak Dayat menerimanya sambil mengangguk, dan tak lama kemudian dia masuk dan meletakan kresek hitam itu di sebelah kursinya sekarang.
Aku tidak berani bertanya apa isinya, namun yang pasti, itu ada hubungannya dengan rumah sakit itu dan segala misteri yang ada di dalamnya.
Mobil pun akhirnya melaju meninggalkan pelataran parkir yang terang benderang itu menuju jalanan yang semakin lama semakin gelap.
Perjalanan kembali ke rumah sakit yang terbengkalai itu terasa berbeda. Dayat tidak banyak bicara di dalam mobil, dia seperti mengerti apa yang aku rasakan di hari ini.
Dia hanya melirikku dari spion depan, dan tak lama kemudian, dia berkata kepadaku dengan nada yang pelan.
"Aku tidak akan bertanya kenapa kamu kembali, karena aku tahu kamu akan datang dan melanjutkan pekerjaan kakakmu," katanya sambil kedua matanya fokus ke jalanan besar yang ada di depannya.
"Di balik apa yang terjadi, aku tahu kamu mempunyai sifat yang sama dengan kakakmu, dia adalah orang yang keras kepala, kakakmu itu punya rasa tanggung jawab yang besar daripada rasa takutnya sendiri, dan itu yang aku rasakan ketika bertemu kamu kemarin."
Mobil yang aku tumpangi akhirnya masuk ke jalanan kecil, dimana di ujung sana adalah rumah sakit yang akan aku tuju.
"Pak Tisna sepertinya sudah menunggu lama, dan aku sarankan, kamu harus mengikutinya, apapun yang terjadi di dalam sana, mungkin awalnya kamu belum terbiasa, namun ketika kamu sudah familiar dengan semua itu, kamu akan terbiasa, dan kamu tinggal melanjutkan pekerjaan kakakmu yang tertunda."
"Pekerjaan kakak yang tertunda?" gumamku.
Aku tidak tahu maksud perkataannya yang terakhir, tapi ketika aku ingin bertanya lebih lanjut, mobil itu sudah sampai di gerbang yang tertutup seng.
Tanpa banyak waktu yang terbuang, Dayat langsung turun dan menggedor, gerbang seng itu.
Setelah gerbang seng itu dibuka oleh Pak Tisna, dia langsung masuk kembali ke mobil dan masuk ke depan pos jaga yang ada di depan.
Pak Tisna hanya berdiri sambil memandangiku, dia tersenyum kembali ketika dia menutup gerbang itu dan mengikutiku dari belakang.
Setelah itu, dia duduk di depan pos jaga, dia mengambil rokok yang sempat dia hisap dari asbak dan mulai menghisapnya kembali.
Asapnya mengepul dari mulutnya, terbang menuju langit-langit dan menghilang begitu saja di udara.
Aku pun akhirnya turun dari mobil itu, dan Dayat terlihat sedang menyerahkan kresek itu kepada Pak Tisna.
Aku hanya mengangguk pelan ketika Pak Tisna melirikku, dan setelah itu, Dayat segera pamit karena dia harus kembali ke rumah sakit baru untuk mengantar Pak Wijaya pulang.
Aku pun duduk dan menatap rumah sakit itu dari pos jaga, dan setelah Pak Tisna menyimpan kresek hitam itu, dan mendekat kepadaku dan menepuk pundakku.
"Aku tahu apa yang kamu khawatirkan, tapi aku tahu kamu akan kembali lagi, karena ada sesuatu hal di matamu yang membuatmu tidak bisa meninggalkan hal ini kan?" tanya Pak Tisna.
Aku hanya mengangguk, sepertinya Pak Tisna mengerti apa yang menjadi masalahku, disana Pak Tisna membuatkanku teh hangat, dan tak lama dia kembali dari dalam dan menyerahkannya kepadaku sambil berkata.
"Tempatmu duduk sekarang adalah kursi favorit kakakmu ketika dia masih bekerja bersamaku di tempat ini, apa yang menjadi masalahnya selalu dia ceritakan kepadaku."
"Ya meskipun umur kami berbeda jauh, tapi mungkin aku adalah satu-satunya orang yang dia anggap sebagai orang tua sendiri setelah orang tua kalian meninggal."
Aku terdiam, sosok kakakku yang sedikit pendiam ternyata berbicara banyak hal dibicarakan olehnya kepada Pak Tisna dan orang lain seperti Dayat, mereka berdua seperti sangat mengerti akan sifat kakakku, bahkan mereka berdua tahu bahwa aku akan kembali lagi ke tempat ini.
"Memang? kakakku berbicara apa saja?" tanyaku pelan, sambil menyeruput teh hangat yang diberikan kepadaku.
"Banyak...." jawab Pak Tisna sambil menghisap rokok yang ada di depannya.
"Aku tahu semua tentangmu, tentang keluargamu, dan tentang alasan dirinya untuk bisa bertahan dari semua ini."
"Makanya, aku tahu kamu, aku juga tahu kamu kembali, bahkan apa yang kamu lakukan kemarin juga itu seperti kakakmu, yang berusaha untuk menebus kesalahannya di masa lalu."
"Bentar? maksudnya kesalahan apa?" tanyaku yang tiba-tiba memotong pembicaraan Pak Tisna.
"Apakah kesalahan itu ada hubungannya dengan rumah sakit yang terbengkalai ini?"
Pak Tisna sedikit terdiam, dia melirikku dengan tatapan yang berbeda, lalu tak lama kemudian, dia mulai berkata kembali.
"Coba kamu pikir, apakah dia rela bekerja seperti ini hanya karena mengkuliahkanmu sampai lulus saja?" tanya Pak Tisna kepadaku.
"Kalau itu aku, aku tidak akan melakukannya, masih banyak diluar sana pekerjaan yang layak tanpa harus melakukan hal yang seperti ini."
"Tapi, ada hal lain yang...., Bentar." Pak Tisna tiba-tiba melirik ke arah jam dinding yang menunjukan jam enam kurang lima belas menit.
Dia mengangkat tangannya dan menempelkannya di dahinya sambil menggelengkan kepala.
Pak Tisna langsung mematikan rokoknya, dan dia langsung berlari ke dalam pos jaga pada saat itu.
Bungkusan dari Dayat terlihat dibuka secara perlahan, dan tak lama dia mengambil kopi hitam yang ada di dalam kresek itu.
Aku melihat sesuatu yang lain disana, ada kresek lain yang nampak basah, ada beberapa plastik yang berisi bunga warna-warni, dan ada pula beberapa menyan yang belum terbakar.
Wajahnya yang tadi tenang kini sedikit panik, dia langsung melirik ke arah dispenser, lalu dia mengambil termos kecil dan menuangkan air panas di dalamnya, lalu setelah itu dia membawa gelas plastik yang dia bawa di dekat dispenser itu.
"Ayo ikut aku? bawa senter yang ada di balik pintu?" katanya sambil memberikan termos kecil yang sudah diisi oleh air hangat.
Aku pun berdiri dan merasa kebingungan pada saat itu, sambil mengambil senter dan berjalan mengikuti Pak Tisna, aku tiba-tiba bertanya kembali kepadanya.
"Kita mau kemana Pak?" tanyaku pelan.
"Kita akan ke belakang, tepatnya ke pemakaman, karena ada beberapa hal yang harus kita lakukan sekarang," katanya sambil membuka pintu lobi rumah sakit itu dan kita mulai masuk ke dalam ketika waktu hampir menjelang malam pada saat itu.
(Cerita ini di update senin dan kamis, apabila ingin baca secara lengkap kalian bisa membacanya disini )
https://karyakarsa.com/Mshidiq/series/sang-penjaga-malam
Komentar
Posting Komentar