BAB 3 : SANG PENUNGGU MALAM

SANG PENUNGGU MALAM

BAB 3 - BANGSAL MELATI

KAMU BISA FOLLOW AKUN INI UNTUK BACA BAB  1 dan BAB 2 nya ya


Kini, aku hanya bisa terdiam, di sebuah lobi rumah sakit yang kini aku jaga.


Pintu lobi yang tadi terbuka, kini mendadak tertutup secara perlahan, dan itu adalah hal yang tidak masuk akal menurutku.


Entah karena pintunya macet? atau tidak bisa dibuka dari dalam? namun yang pasti, aku kini sendirian di dalam rumah sakit ini, dan Pak Tisna yang tadi aku lihat sekarang pergi entah kemana.


Aku sekarang baru sadar, bahwa kondisi lobi itu sangat-sangat mencekam ketika aku masuk di dalamnya, aku tadi fokus untuk mengejar Pak Tisna sehingga aku tidak memperhatikan kondisi lobi rumah sakit ini sekarang.


Senter yang aku bawa di pos jaga kini langsung menyorot ke seluruh ruangan, ada beberapa tempat yang tidak tersentuh oleh senterku sehingga terasa gelap.


Disana, aku melihat bahwa lantai keramik yang aku injak kini kotor dan buram, selain itu banyak sekali debu tebal dan jejak-jejak sepatu yang terukir di lantai.


Sepertinya, ini adalah jejak-jejak dari orang yang berjaga di tempat ini, bisa saja ini adalah jejak dari Pak Tisna, juga jejak dari kakakku.


Pak Tisna yang menjelaskan bahwa tubuh kakakku yang tergeletak tak bernyawa di tempat ini pun seperti menjadi misteri bagiku.


Sebenarnya, apa yang dia temukan di tempat ini sehingga membuatnya meninggal mendadak seperti penyakit jantung.


Apakah ada sesuatu yang benar-benar menakutkan sehingga dia bisa mendadak kehilangan nyawanya seperti itu, atau ada sebuah misteri yang dia coba pecahkan?


Apalagi, dia sampai menulis catatan-catatan itu yang……


“Ah, pantas saja pintu lobi nya terkunci, rupanya kakak juga menulis kalau pintu masuk itu berbeda dengan pintu keluar,” gumamku.


Aku ingat dengan salah satu catatan tulisan itu sekarang bahwa pintu masuk dan keluar itu berbeda, dan ini adalah maksudnya.


Sepertinya, apa yang aku rasakan ini sama dengan apa yang kakak rasakan ketika dia menjaga tempat ini.


Aku menghela nafas panjang, seharusnya tadi aku bertahan di pos sesuai dengan arahan Pak Tisna, dan sekarang, aku masuk ke dalam rumah sakit ini dalam keadaan bahwa aku tidak tahu apa-apa selain buku catatan dari kakak yang tadi aku baca.


Aku hanya bisa kembali diam, mencoba berfikir sambil mencari cara bagaimana aku bisa bertemu Pak Tisna pada saat itu.


Aku pun akhirnya mulai melangkah pelan, mencoba untuk menebak kira-kira kemana Pak Tisna pergi, apakah dia akan kembali, atau dia terus berjalan mengelilingi rumah sakit yang terbengkalai ini sekarang.


Disana aku masih melihat ada beberapa kertas yang berserakan, brosur kesehatan yang sudah lapuk, dan daun-daun kering yang berhasil menyelinap masuk dari ventilasi udara dari atas.


Aku mengarahkan senterku ke arah kiri, tepatnya ke meja resepsionis yang besar dan melengkung hingga ke ujung ruangan.


Disana aku menemukan sebuah kalender meja yang masih terbuka, dan di halaman itu aku bisa melihat bahwa tahunnya masih menunjukan tahun 2023, satu tahun sebelum A Ardi meninggal di tempat ini.


Lalu disampingnya, ada sebuah telepon yang tergeletak begitu saja, dan ada juga sebuah pot kecil berisi tanaman yang sudah lama dan mengering karena tidak pernah tersiram oleh air.


Suasana rumah sakit ini benar-benar berbeda dari apa yang aku ketahui, lobi rumah sakit yang biasanya ramai kini gelap dan berdebu.


Sambil menyender ke meja resepsionis, aku hanya melihat beberapa lorong yang ada di depanku dan yang ada di sebelah kiri.


Lorong yang ada di depanku adalah lorong yang tadi aku masuki ketika mencari Pak Tisna, lorong itu nampak sedikit gelap, dan hanya sinar bulan yang redup menyinari lorong itu dari luar.


Sedangkan lorong yang ada di sebelah kiriku, lorong itu benar-benar gelap, seperti tidak ada cahaya yang bisa menembusnya, aku tidak tahu kemana lorong itu nantinya, karena aku benar-benar tidak tahu peta dari rumah sakit ini sekarang.


“Sepertinya, aku harus mencari peta dulu agar aku tahu posisi dari rumah sakit itu,” gumamku.


Aku langsung mencari-cari di dinding yang ada di sekitaran lobi, biasanya pasti ada peta atau denah yang menempel di sana.


Tapi, ketika aku sedang mencari, aku baru sadar, bahwa debu-debu yang aku sinari oleh cahaya senterku seperti ada yang berbeda.


Seperti ada jejak kaki yang keluar dari arah kiri, dan menyenggol beberapa benda di lobi ini karena terlihat debunya sudah menghilang dan membekas disana.


Aku hanya bisa mencoba untuk menenangkan diriku dan tidak berpikir yang aneh-aneh, yang aku harus lakukan hanyalah mencari denah atau peta yang ada di lobi ini.


Aku menyinari langit-langit lobi yang tinggi, mencari ke setiap sudut dengan sarang laba-laba yang menggantung disana.


Beberapa bercak air besar dan gelap terlihat dari langit-langit, dan ketika aku sampai di sebuah papan bertuliskan KLINIK ANAK, aku akhirnya melihat beberapa tulisan penunjuk arah dan denah rumah sakit ini yang ternyata sangat besar.


Aku hanya ada di sebuah ruangan kecil yang dinamakan lobi, selain itu banyak sekali ruangan-ruangan lain di empat lantai rumah sakit ini ketika aku melihatnya.


Bahkan, ada dua gedung yang berbeda, yang terhubung dengan sebuah koridor panjang dengan kedua taman yang ada di sisi kiri dan kanannya.


Rumah sakit ini benar-benar lengkap ketika aku melihatnya dengan seksama, saking lengkapnya, ada ruang bermain anak, tempat ibadah, dan juga beberapa ruang VIP yang ada di lantai atas.


Di saat aku sedang melihat hal itu dan mencoba untuk mengingatnya, tiba-tiba, tepat di lorong sebelah kiri meja resepsionis, aku melihat sebuah titik cahaya tipis yang muncul dalam beberapa detik.


Aku yang melihat itu secara sekilas langsung membalikan wajah, dan titik cahaya yang aku lihat seperti muncul dari lorong yang berbeda, dan kemudian titik cahaya itu menjauh dari lobi ini.


Sepertinya, titik cahaya itu akan menuju gedung belakang yang dipisahkan oleh koridor panjang dan taman, dan mungkin saja, itu adalah jalan keluar bagiku agar bisa keluar dari rumah sakit ini sekarang.


“Pak! Pak Tisna! tunggu!”


Aku mencoba berteriak sambil berlari kecil ke arah lorong tersebut sambil mengingat-ingat denah yang tadi aku lihat pada saat itu.


Suasana semakin berbeda ketika langkah kakiku masuk ke lorong itu, entah ada apa disana, namun hawanya semakin terasa dingin dan menyeramkan.


Seperti ada yang menempel di punggungku sehingga tubuhku terasa lebih berat, namun ketika aku berbalik, tidak ada apapun selain aku yang berada di lorong itu.


Aku terus berlari mengejar Pak Tisna yang terus menjauh, disana aku melihat poster-poster kesehatan yang sudah menguning dan sobek.


Beberapa di antaranya terlihat menggantung dengan kondisi yang seperti dirobek secara sengaja oleh sesuatu yang tidak aku ketahui.


Selain itu, ada beberapa kursi roda yang berkarat terlihat diam di sepanjang lorong itu, dan hal itu membuat lorong yang sedikit sempit itu terlihat semakin menyeramkan, sehingga aku mempercepat langkahku agar aku bisa segera mendekat ke arah Pak Tisna yang ada di ujung sana.


Pak Tisna seperti tidak mendengarkanku ketika aku memanggilnya, apakah dia tidak mendengar suaraku, atau sengaja mengabaikannya karena dia tahu, bahwa aku seharusnya saat ini ada di pos jaga yang ada di luar.


Pak Tisna pun seperti tidak melambat, dia terus berjalan hingga dia menaiki tangga darurat yang ada di ujung lorong itu.


Tanpa pikir panjang, aku langsung mengikutinya naik hingga ke lantai dua rumah sakit ini.


Disana, aku mencoba menyinari ke arah atas, berharap Pak Tisna mengetahui bahwa ada aku dibawah sana dan dia bisa berhenti sejenak untuk menungguku.


Namun, itu tidak terjadi, Pak Tisna terus berjalan secara perlahan, bahkan kini dia naik ke lantai tiga dari rumah sakit ini.


Dia membuka pintu tangga darurat itu, dan masuk kembali ke lorong yang berada di lantai tiga, disana, dia masuk ke sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka.


Aku yang berada di belakang langsung mempercepat langkahku dan mulai masuk ke dalamnya.


“Akhirnya, dia bisa aku kejar juga…” kataku dengan nafas yang mulai terengah-engah.


“Pak, Pak Tisna tunggu!”


Aku langsung bergegas masuk ke dalam sana, mencoba untuk mencari Pak Tisna di dalam ruangan itu sekarang.


Tapi…


“Kenapa kosong? kemana Pak Tisna?”


Cahaya senter milik Pak Tisna yang tadi aku lihat kini lenyap kembali, dan hal ini persis seperti apa yang aku alami ketika aku masuk ke dalam rumah sakit ini.


Aku kini berada di dalam sebuah ruangan yang tertutup, jendelanya ditutup oleh beberapa trash bag hitam, sehingga tidak ada cahaya yang masuk dari luar sana.


Selain itu, aku memperhatikan dengan seksama bahwa itu adalah sebuah ruang perawatan, karena terlihat ada beberapa tempat tidur yang berjejer disana dengan tirai-tirai pembatas kusam yang menggantung di antara tempat tidur itu.


Sebagian besar dari tempat tidur itu sudah berkarat, bahkan kasur-kasur tipis di atasnya sudah sobek di berbagai tempat.


Senterku memperlihatkan isian dari kasur kapuknya yang sudah menghitam dan lembab, terlihat pula disana tiang-tiang infus yang kurus dan kering berdiri di beberapa tempat tidur yang kosong itu.


Lalu, kertas-kertas buram seperti rekam medis pasien berserakan di salah satu tempat tidur, dan ada juga sebuah kursi roda yang menghadap ke jendela dengan beberapa rodanya yang sudah berkarat.


Ketika aku berada di tengah-tengah ruangan itu, tiba-tiba senter yang ada di tanganku langsung berkedip-kedip.


Aku sedikit panik ketika cahaya dari senter itu mendadak redup, sehingga aku langsung menggoncangkannya dan memukul-mukulnya agar senter itu terang kembali.


Aku sedikit lega karena ketika aku memukulnya, senter itu kembali menyala terang.


Namun, beberapa detik kemudian, senter itu padam total.


“Kenapa ini?” gumamku dengan panik.


Aku memencet tombol on dan off nya beberapa kali, berharap senter itu kembali menyala sekarang, namun kali ini senter itu benar-benar mati total, dan aku kini sendirian di dalam kegelapan ruangan itu, tanpa ada sebuah cahaya yang menerangiku sekarang.


Ruangan itu benar-benar gelap sekarang, bahkan saking gelapnya, aku tidak bisa melihat tanganku sendiri yang aku angkat di depan wajahku sendiri.


Aku benar-benar panik, aku terus memukul-mukul senter itu dan memencet tombol on dan off secara tergesa-gesa.


“Ayolah, menyala dong, aku bingung kalau harus keluar tanpa ada penerangan,” gumamku dengan nada yang panik.


Jantungku berdebar dengan kencang, rumah sakit terbengkalai dan senter yang mati adalah sebuah kombinasi yang pas untuk sebuah ketakutan yang aku rasakan sekarang.


Dan di tengah-tengah kepanikan itulah, tiba-tiba aku terdiam, karena aku mendengar sesuatu yang lokasinya berada tepat di dekatku.


Itu bukan suara langkah kaki dari Pak Tisna, melainkan sesuatu yang jauh lebih aneh dan menyeramkan.


Ngiik….


Suara itu seperti sebuah suara dari roda yang berputar secara perlahan, aku ingat bahwa di ujung ruangan ini, ada sebuah kursi roda yang sudah berkarat akibat usia, dan kali ini, aku seperti mendengar suara dari kursi roda itu bergerak di dalam kegelapan.


Suaranya begitu pelan, seperti ada seseorang yang mendorongnya dengan pelan dari sudut ruangan yang paling gelap dari arah dari roda itu, dan suara itu seperti mengarah ke arahku yang kini berada di tengah-tengah ruangan.


Suara itu seperti memiliki jeda, suara roda berputar, namun berhenti selama beberapa detik, setelah itu suaranya terdengar lagi, dan suara decitan dari roda berkarat itu membuatku semakin panik.


Wajahku kini pucat di tengah-tengah kegelapan, keringat dingin muncul secara perlahan dari arah belakang dan membasahi punggungku pada saat itu.


Aku seperti ingin berlari, namun aku terlalu panik sehingga tubuhku membeku, aku hanya bisa menepuk-nepuk senter itu dengan rasa takut yang mulai menjalar ke seluruh tubuhku pada saat itu.


“Ayolah, menyala lah, agar aku bisa keluar dari tempat ini,” gumamku dengan wajah yang benar-benar pucat pada saat itu.


Beberapa kali tombolnya aku tekan, tapi senter ini masih belum menyala, suara decitan dari kursi roda semakin mendekat dari kegelapan, dan hal itu membuat tubuhku semakin merinding dengan udara yang semakin mencekam.


Tiba-tiba, aku langsung memukul senter itu dengan panik, dan setelah itu aku menekan kembali tombol on yang ada di senter tersebut.


Terlihat, sebuah cahaya redup berwarna kuning memancar dengan lemah, lalu secara perlahan berangsur-angsur menguat.


Suara decitan dari kursi roda itu mendadak menghilang ketika cahaya senter itu menyinari seluruh ruangan itu kembali.


Namun, aku tidak sepenuhnya lega ketika cahaya itu muncul, tapi aku malah semakin ketakutan, karena tepat beberapa meter di depanku, berdiri sesuatu yang membuat tubuhku semakin membeku.


Bentuknya nampak samar dan menyerupai manusia, dan ketika cahaya senter ini menyinarinya, aku bisa melihat bahwa dia berdiri dengan mengenakan gaun rumah sakit yang lusuh dan bernoda.


Namun, ada yang mengerikan dengan tubuhnya, dia nampak kurus dan tinggi dengan beberapa anggota badan yang tidak wajar.


Kepalanya miring ke arah kiri seperti patah akan sesuatu, dan di bawah cahaya senterku yang menyala remang itu, aku bisa melihat sebagian wajahnya tampak pucat, dan sebagian wajahnya lagi terlihat terluka dengan luka bakar yang mengerikan.


Kulitnya melepuh dengan warna merah kehitaman, lalu mata di sisi wajah yang terbakar itu kosong dan putih sehingga tidak ada pupil yang terlihat disana.


Bukan hanya itu saja, ada sebuah selang infus yang menjuntai ke bawah, dan selang itu berakhir di sebuah tiang infus yang dia bawa di salah satu tangannya yang berada di sampingnya.


Kantong infus yang menggantung di sana tampak keruh dan berwarna gelap, dan setelah aku melihat sosok itu, tiba-tiba muncul aroma anyir yang menyeruak begitu kuat, dan hal itu membuatku mendadak ingin muntah pada saat itu juga.


Sosok itu tidak bergerak, dia hanya berdiri diam dan menatapku dengan tatapan yang kosong dan mengerikan, aku rasa suara yang aku dengar bukanlah suara kursi roda, melainkan tiang infus yang diseret oleh sosok itu.


Jujur, aku tidak sanggup lagi, aku harus keluar dari ruangan ini.


Aku langsung berbalik, mencoba melarikan diri dari ruangan itu dengan wajahku yang semakin pucat.


Aku langsung melesat keluar, kembali ke lorong lantai tiga, dan setelah beberapa langkah, aku baru sadar ruangan apa yang aku masuki tadi.


BANGSAL MELATI


Sebuah tulisan kusam menempel di dinding ketika aku keluar dari ruangan itu dalam keadaan yang panik, dan seketika aku teringat catatan dari kakaku bahwa aku harus menganggap bahwa bangsal ini tidak ada.


Mungkin alasan inilah kakakku menulis catatan ini, dan aku baru saja memasukinya dan mengerti kenapa kakak sampai menulis hal itu di dalam buku catatan itu.


Ngiik….


“Suara itu lagi…” gumamku dengan panik.


Suara benda yang bergerak di dalam ruangan itu tiba-tiba terdengar lagi, sepertinya sosok itu berusaha bergerak dan mulai mengejarku sambil menyeret tiang infus berkarat yang terpasang di tubuhnya.


Aku berlari lebih kencang, aku harus keluar bagaimanapun juga.


Aku langsung berlari kembali ke tangga darurat, namun ketika aku membukanya.


“Terkunci…”


Pintu itu kembali tidak bisa terbuka, aku terjebak, benar-benar terjebak di rumah sakit yang terbengkalai ini.


Aku langsung melirik ke arah belakang, dan sosok itu kini muncul di lorong dan seperti sedang mengikutiku dari belakang.


Aku yang benar-benar ketakutan langsung berlari lagi tak tentu arah, mencari sebuah tempat yang pas untukku bersembunyi di dalam rumah sakit yang menyeramkan ini.


Tepat di salah satu ujung lorong ini, ada sebuah deretan loker staff yang terbuat dari logam berwarna hijau muda.


Disana, aku melihat beberapa nama pegawai yang tertulis di loker tersebut, beberapa masih terlihat jelas dan beberapa lagi sudah berjamur dan berdebu.


Dengan rasa panik yang kini menutupi seluruh tubuhku, aku langsung menarik pintu dari salah satu loker itu.


Pintu loker itu langsung terbuka, dan aku langsung menyelipkan tubuhku yang kecil di dalam ruangan yang sempit itu sekarang.


Dengan detak jantung yang masih berdetak kencang, aku menutupnya kembali dengan sepelan mungkin, dan tak lama kemudian, aku berdiri disana dan melihat dari celah-celah loker yang gelap itu untuk melihat keluar.


Aku langsung menahan nafas sambil mematikan senterku kembali, berusaha agar tidak menimbulkan suara yang membuat sosok itu mengetahui dimana aku bersembunyi.


Aku terdiam cukup lama, mungkin sekitar lima menit di dalam sana, namun lima menit itu sangat lama di situasi seperti ini, dan aku hanya bisa menenangkan diriku agar aku tidak bergerak sedikitpun disana.


Tepat di menit ke enam, tiba-tiba aku mencium bau anyir yang tadi aku cium di dalam bangsal itu, selain itu, aku juga mendengar suara dari sosok itu yang sedang menarik tiang infus yang menempel di tubuhnya.


Jantungku yang tadinya sedikit tenang kini kembali terguncang, aku hanya bisa memejamkan mata sambil menyender ke dinding loker agar sosok itu tidak mengetahui bahwa aku ada di dalam sini.


Lorong yang gelap membuatku tidak bisa melihat apa-apa, hanya ada sebuah gerakan yang semakin lama semakin dekat, dan aku tahu, kini sosok itu tepat berada di deretan loker itu.


Dia seperti mengayunkan salah satu tangannya ke arah pintu loker, menarik tangan itu secara perlahan dan berhenti tepat di loker tempat aku bersembunyi.


Jujur, aku tidak berani untuk melirik ke arah celah loker tersebut, aku hanya bisa diam dan berfikir kenapa kakak sampai berani kerja di tempat seperti ini.


Apakah sosok yang aku temui ini mengakibatkan kakak meninggal? atau ada hal lain yang sebenarnya tidak aku ketahui tentang rumah sakit ini.


Aku semakin terdiam ketika tangan itu mencoba menarik pintu lokernya, dan aku berusaha untuk menahannya dari dalam agar pintu itu tidak terbuka.


Lalu, setelah itu, secara tiba-tiba suara dari tangan itu lenyap, bahkan tarikan dari pintu loker itu menghilang, bersamaan dengan hilangnya suara tiang infus yang diseret oleh sosok itu.


Aku kembali terdiam, aku masih belum mau membuka pintu loker ini hingga benar-benar aman.


Aku hanya ingin diam di dalamnya dan memastikan bahwa sosok itu sudah menghilang sepenuhnya.


Entah sekitar sepuluh menit setelah suara itu pergi, aku baru bisa berani keluar dari loker itu, senter yang awalnya aku matikan kini aku nyalakan lagi, dan aku mulai menyenter keadaan lorong dari celah loker itu, agar aku bisa memastikan bahwa lorong itu benar-benar kosong sekarang.


Setelah itu, aku mulai mendorong pintu loker itu, lalu mulai melangkah secara perlahan ke arah lorong yang gelap tersebut.


Cahaya senterku aku arahkan ke berbagai sudut dari lorong itu, memastikan bahwa sosok itu benar-benar pergi sekarang.


Lalu setelah itu, aku langsung melirik ke ujung lorong, dan disana ada tangga darurat lain yang letaknya tak jauh dari loker tersebut.


Aku sempat mengecek jam tanganku sekarang, dan tak terasa, sekarang sudah 00:45, menandakan bahwa tengah malam sudah lewat, dan aku harus cepat-cepat keluar dari tempat ini secepatnya.


Aku langsung menuruni tangga dengan membabi buta, awalnya aku ingin langsung menuju lantai satu, namun ketika aku sampai disana, pintu darurat itu terkunci, sehingga aku harus naik lagi ke lantai dua untuk mencari cara agar aku bisa turun ke lantai satu.


Aku semakin waspada ketika aku sudah melihat hal yang menyeramkan di lantai tiga, telingaku semakin sensitif dengan suara sekecil mungkin, dan aku sudah mulai tidak percaya dengan apa yang aku lihat selama berada di dalam rumah sakit ini.


Aku pun keluar di lantai dua, berbelok ke sebuah lorong panjang yang sepertinya itu adalah ruang perawatan yang berjejer lurus sepanjang lorong.


Setelah itu, ada sebuah tangga kecil yang turun ke bawah dekat lift yang besar di sebelahnya, tangga itu nampak berbeda dari tangga biasanya.


Bentuknya sedikit lusuh, dan sepertinya tangga itu dipakai untuk karyawan, dan bukan dipakai untuk pasien dan keluarganya.


Aku pun kembali turun, dan disana aku melihat ada sebuah pintu yang tertutup rapat tepat dibawah tangga ini.


Tanpa ragu, aku langsung menerobos masuk pintu itu dan membiarkannya terbuka lebar.


Tepat di ujung sana, aku melihat pintu lain yang lebih lebar dari pintu yang aku masuki, selain itu, ada sebuah lift yang letaknya tepat di dekat pintu besar itu.


Tapi, aku merasa aneh terhadap ruangan ini, karena ruangan ini sangatlah berbeda dengan ruangan yang perawatan yang aku lewati tadi.


Aku langsung menyinari seluruh ruangan itu dengan senterku, dan terlihat ada beberapa meja panjang yang terbuat dari baja tahan karat, dan di dinding yang ada di sebelah kiri, berjejer pintu-pintu lemari pendingin yang besar.


Beberapa pintu lemari itu terbuka, dan beberapa lainnya tertutup.


Selain itu, aku mencium bau yang lain ketika aku masuk ke ruangan ini, yaitu bau formalin yang menyengat.


Disana, aku baru sadar, bahwa aku salah memasuki tempat yang berada di rumah sakit ini, karena pada saat ini, aku masuk ke kamar mayat, dimana pada saat ini, kamar mayat yang aku masuki harus tertutup rapat sesuai apa yang kakakku tulis, dan aku malah membukanya ketika aku turun dari lantai dua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang penunggu malam