BAB 2 : Jaga Malam Pertama
SANG PENUNGGU MALAM
BAB 2 - JAGA MALAM PERTAMA
Cerita ini akan update senin dan kamis, jadi follow akun ini agar tidak ketinggalan
Rasanya sangat aneh, jika tiba-tiba kakakku ditemukan meninggal di rumah sakit yang terbengkalai ini secara tiba-tiba.
Sebenarnya apa yang terjadi? apakah ini berhubungan dengan aturan ini? atau ada sesuatu yang lain yang membuat dia kehilangan nyawanya?
Aku hanya bisa terdiam sambil menatap catatan itu, sebuah catatan dari kakak yang belum terselesaikan, dan itu adalah catatan tentang apa yang harus dihindari ketika sedang bekerja di rumah sakit ini.
Rasa takut mulai merayap ketika aku melirik kembali ke arah rumah sakit yang sekarang menjadi gelap, banyak pertanyaan yang berkumpul di dalam kepala ketika aku melihat kenyataan ini.
Tapi, tak lama kemudian, Pak Tisna langsung menepuk pundakku sambil tersenyum pelan pada saat itu.
“Sudah, kamu jangan terlalu berfikir yang aneh-aneh,” katanya dengan suaranya yang serak.
“Dari jaman dulu, semua rumah sakit itu angker, dan itu sama dengan rumah sakit ini. Bahkan zaman ketika rumah sakit masih beroperasi dan kakakmu mulai bekerja di tempat ini dua tahun yang lalu, sudah banyak kejadian aneh di rumah sakit ini.”
Aku hanya mengangguk pelan mendengarkan Pak Tisna yang bercerita tentang kakakku, dia berusaha agar aku tidak ketakutan pada saat itu, Pak Tisna langsung berdiri dan membuatkanku secangkir kopi panas sambil bercerita tentang kakak.
“Intinya, apa yang kakakmu buat bukan semata-mata untuk menakuti semua yang jaga, tapi karena kakakmu lah yang bertahan dengan semua ini, sehingga dia seperti tidak ingin membuat kesalahan, seperti yang terjadi kepada semua partner kerjanya ketika bekerja di tempat ini.”
“Maksudnya Pak?” potongku.
Pak Tisna kembali tersenyum, dia menyodorkan kopi panas itu kepadaku untuk aku minum.
“Minum dulu, karena malam ini akan panjang, karena selain catatan itu, ada banyak yang harus kamu lakukan sebagai seseorang yang menjaga rumah sakit ini sebagai ganti kakakmu, dan aku akan memberitahumu secara perlahan ketika kamu sudah terbiasa dengan situasi ini,” katanya sambil duduk di seberangku kembali dan menyandarkan punggungnya kembali ke arah kursi.
Pak Tisna terlihat sangat santai, dia mengeluarkan rokoknya dan menyalakannya, lalu setelah itu dia mengambil senternya dan menyorotkan cahayanya ke arah rumah sakit yang gelap itu sambil berkata.
“Kejadian-kejadian aneh ini sebenarnya sering terjadi di rumah sakit ini, namun dulu mungkin karena ramai, mereka dalam tanda kutip penghuni rumah sakit ini tidak terlalu menampakan dirinya, jadi mereka hanya muncul sesekali, pihak manajemen hanya memberi tugas kepada kami para penjaga agar mereka tidak mengganggu pasien, dan hal itu kami lakukan tanpa tahu arti dari semua itu.”
“Tapi, setahun kemudian, ada sebuah kejadian yang membuat rumah sakit ini pindah, dan di saat itulah, kita jadi semakin menemukan hal yang aneh di dalam sana, bukan hanya kakakmu saja, hampir semua orang yang jaga mendapatkan hal aneh itu, sehingga Ardi berinisiatif menulis ini semua agar sebagai acuan bahwa selama hal itu bisa dihindarkan, maka kita bisa terjaga dengan aman disini.”
Aku mengangguk pelan, sambil menyeruput kopi panas yang diberikan oleh Pak Tisna, aku kembali mendengarkan ceritanya.
“Kenapa di pindahkan Pak rumah sakitnya?” tanyaku pelan.
Pak Tisna hanya tersenyum pelan, seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan di balik senyumannya pada saat itu.
“Kita semua tidak tahu, namun yang pasti hal itu memakan korban, dua orang penjaga jatuh dari lantai empat, dan pihak manajemen menyuruh kami menutupi hal tersebut tanpa pernah memberitahu alasannya.”
“Mungkin ini juga yang dicari tahu oleh kakakmu, karena selama dia bekerja disini, dia seperti penasaran akan hal itu, dan ketika rumah sakit ini sudah terbengkalai, mereka semakin memunculkan diri mereka, sehingga kakakmu menulis hal-hal yang tidak boleh dia lakukan agar dia tidak bisa menghindari itu semua,” jawabnya pelan sambil menghisap rokoknya.
“Intinya sih, selama kamu mengikuti apa yang nanti aku katakan, lalu mengikuti apa yang aku lakukan, kamu akan aman, dan yang harus kamu ingat.”
“Semua rumah sakit itu pasti mempunyai hal yang ganjil jadi kamu tidak perlu terlalu takut dengan catatan yang kakakmu buat.”
“Ya namanya juga rumah sakit, tempat orang lahir, tempat orang sakit, tempat orang meninggal, dinding-dinding yang tua dan kusam ini sudah melihat semuanya,” kata Pak Tisna sambil menghisap rokoknya secara perlahan.
Aku bisa melihat Pak Tisna menghirup rokok itu sesaat, lalu menghembuskan asapnya ke udara sebelum dia bercerita kembali.
“Sekarang tempat ini kosong, dan banyak para penjaga yang kabur, sudah beberapa kali mereka mengirimkan para penjaga yang baru, tapi tetap saja mereka tidak tahan, dan hanya kakakmu lah yang bertahan hingga hari terakhirnya di dalam sana.”
Aku hanya bisa terdiam mendengar hal itu, dia tidak pernah bercerita apapun tentang pekerjaannya, dan setiap aku tanya, dia hanya menjawab bahwa aku tidak perlu tahu akan hal itu, yang pasti aku bisa fokus kuliah dan bisa menyelesaikannya dengan cepat.
Tapi, aku baru tahu bahwa pekerjaan dirinya seperti ini, menjaga rumah sakit terbengkalai sehingga tubuhnya ditemukan meninggal di lobi rumah sakit ini.
Aku kembali menatap rumah sakit itu, keheningan terasa berat diliputi oleh sebuah misteri yang mulai muncul.
Buku catatan yang dia tulis, lalu juga kematiannya yang secara tiba-tiba, semuanya seperti menjadi misteri bagiku, lalu sebuah kejadian dimana rumah sakit pindah, dan ketika aku tanya ke Pak Tisna, dia seperti menyembunyikan sesuatu di depan mataku sendiri.
“Apakah kematiannya ini berhubungan dengan semua hal itu?” gumamku dengan nada yang pelan.
Semuanya terasa hening dan berat, dan sepertinya Pak Tisna seperti melihatku semakin tegang sehingga dia bangkit dari kursinya sekarang.
“Sudah santai aja, kamu jangan terlalu tegang gitu,” katanya sambil berjalan keluar dari pos yang sempit itu.
“Tadinya aku akan mengajakmu berkeliling pada malam ini, karena ada hal-hal yang harus ketahui selain tulisan dari kakakmu yang sudah kamu baca, tapi karena kamu baru pertama kali bekerja disini dan nampaknya belum siap dengan semua ini, mendingan kamu diam saja disini pada malam ini ya, biarkan aku berkeliling dulu, kalau kamu nanti sudah siap, kita baru bisa berkeliling, karena nantinya kita harus bergantian berkeliling setelah terbiasa dengan rumah sakit ini.”
Aku kembali mengangguk pelan, lalu tak lama Pak Tisna yang mulai berjalan masuk ke arah depan rumah sakit itu kembali berkata.
“Kamu kenali dulu suasana pos jaga ini ya, dan ingat! jangan kemana-mana.”
Pak Tisna langsung berjalan kembali dan masuk ke dalam rumah sakit yang gelap itu sekarang, cahaya senternya yang merupakan cahaya satu-satunya disana kini mulai menjauh dariku, dan ketika dia membuka pintu lobi dan masuk ke dalamnya, cahaya itu tiba-tiba menghilang di dalam kegelapan.
Kini, hanya aku sendirian disini sekarang, aku hanya bisa menatap rumah sakit itu dari dalam pos jaga yang ada di depan.
Cahaya bulan yang pucat menerangi rumah sakit itu dengan suasana yang berbeda ketika aku ditinggal sendirian di tempat ini.
Ukurannya yang besar membuatku merasa kecil di bawah sana, rumah sakit itu totalnya empat lantai dan cahaya bulan di atas sana hanya bisa menerangi sebagian kecil dari rumah sakit yang terbengkalai itu.
Sisanya, hanya kegelapan yang mengambil alih seisi rumah sakit ini, dan itu membuatku sedikit merinding ketika aku melihatnya sendirian sekarang.
Bukan hanya itu saja, dindingnya tampak benar-benar kusam dengan beberapa tumbuhan yang merambat di dindingnya, nampak garis-garis hitam panjang bekas rembesan air hujan nampak jelas terlihat dari kejauhan, dan itu membuat rumah sakit ini semakin terlihat mencekam dan menyeramkan.
Aku menyenter beberapa bagian rumah sakit itu dari kejauhan, di ujung kiri banyak sekali deretan jendela yang pecah dan meninggalkan tepian tajam yang bergerigi di setiap ujungnya, dan di salah satu jendela di lantai dua, aku masih bisa melihat sebuah tirai kain yang warnanya sudah pudar.
Tirai itu sobek di bagian bawahnya dan tergantung miring, dan selain itu, aku bisa melihat beberapa jendela nampak terbuka dan tidak pernah tertutup kembali.
Aku hanya bisa melihat kegelapan yang pekat di ruangan-ruangan tersebut, dan hal itu hanya bisa membuatku menarik napas panjang sambil bergumam.
“Aku baru sadar, bahwa rumah sakit ini tampak aneh?” gumamku.
Aku baru ingat, bahwa lokasi rumah sakit ini sangat terpencil, tidak seperti biasanya yang berada di pusat keramaian.
Rumah sakit ini sangat jauh dari rumah-rumah warga, bahkan rumah sakit ini dikelilingi oleh kebun dan hutan-hutan kecil.
Apalagi, setelah aku kembali melihat buku catatan kakak, tertulis disana bahwa di belakang rumah sakit ini ada pemakaman dan hal itu membuatnya semakin aneh.
Aku mencoba berdiri dari duduk ku, berjalan keluar dan menatap rumah sakit itu dari luar pada saat itu.
Aku baru sadar, suasana di rumah sakit ini benar-benar hening, tidak ada suara hewan-hewan malam yang seharusnya terdengar di antara semak-semak yang kini menutupi parkiran luar.
Satu-satunya suara yang kudengar hanyalah suara dari angin malam yang sesekali bertiup dan membawa tanah basah dan daun-daun busuk.
Angin itu menimbulkan suara yang pelan saat melewati pos yang ada di dekatku pada saat itu, dan ketika aku berdiri di sana di waktu yang cukup lama, aku baru sadar bahwa sudah hampir setengah jam berlalu semenjak Pak Tisna masuk ke dalam sana, namun tidak ada tanda-tanda Pak Tisna keluar dari rumah sakit tersebut.
Tiba-tiba, tepat ketika aku ingin kembali ke dalam pos, ada sebuah suara yang memecah keheningan.
Krrrssskkk…..
Itu adalah suara dari walkie-talkie yang menggantung di pos, lampu kecilnya mendadak menyala, menandakan bahwa ada transmisi yang masuk.
Jantungku tiba-tiba berdetak kencang, aku langsung mengambil walkie-talkie itu dan mulai berkata.
“Halo pak? hallo?” sapaku.
Aku yakin, itu adalah Pak Tisna yang menghubungiku dari dalam sana, namun ketika aku berkata seperti itu, tidak ada jawaban darinya, yang ada suara yang tidak jelas yang aku dengar disana.
“Pak…Pak Tisna? halo? roger? pak?”
Tidak ada jawaban disana, yang ada hanyalah bunyi kresek-kresek yang lebih keras yang aku dengar, dan setelah itu, walkie-talkie itu mendadak hening dan padam.
Aku mencoba berpikir positif, mungkin itu hanya gangguan sinyal. Aku mencoba untuk menenangkan diriku dengan menarik napas panjang.
Aku menyandarkan punggungku ke kursi sambil melihat gedung itu dari dalam pos lagi sekarang, dan ketika aku sedang duduk disana, aku mendengar sesuatu yang dilempar ke arah pos dari arah luar.
Trak..
Sebuah suara yang begitu jelas di tengah kesunyian yang membuatku seketika bangkit kembali dari dudukku pada saat itu.
Itu seperti suara dari sebuah kerikil kecil yang membentur kaca jendela dari pos jaga yang aku tempati pada saat ini.
Aku mencoba bangkit, tubuhku sedikit merinding karena suara itu sangatlah jelas di tengah-tengah kesunyian yang aku rasakan.
Aku hanya berdiri diam dan menyinari setiap sudut pos itu dengan senter yang aku bawa, aku berusaha untuk menangkap asal suara tersebut dan mulai mencari dari mana asalnya.
Tapi, suasana kembali hening, tidak ada suara langkah kaki, tidak ada suara apapun, bahkan suara kerikil itu mendadak hilang kembali.
Namun, hal itu malah membuatku berdebar dengan kencang, sehingga aku merasakan bagaimana tubuhku ini bergetar hebat atas apa yang tadi aku rasakan.
Rasa penasaran yang dibalut oleh rasa takut yang muncul secara perlahan, membuatku harus keluar dan menyusuri lagi di sekeliling pos tersebut.
Otakku langsung berfikir positif dan memastikan bahwa itu bukan ulah hal-hal aneh yang tadi dibicarakan oleh Pak Tisna.
Aku menganggap, bahwa pos jaga ini adalah satu-satunya tempat yang aman, dan hal itu yang terus aku pikirkan selama ini.
Aku melirik ke atas, dan terlihat ada beberapa pohon yang menjulang tinggi di belakang pos dengan daun-daun yang memenuhi atas pos jaga itu.
Setelah itu, aku kembali menghirup napas lega, aku terlalu paranoid dengan hal-hal sekecil itu di situasi seperti ini.
“Haaaah, rupanya cuman daun atau ranting kering di dari atas pohon ini ternyata,” gumamku.
Aku meyakinkan diriku meskipun entah mengapa, rasa janggal itu masih ada, sepertinya tubuhku ini tidak mau menerima anggapan di dalam pikiranku pada saat itu.
Aku pun kembali duduk diam selama beberapa menit, beberapa kali aku melirik ke arah jam dan hampir empat puluh lima menit semenjak Pak Tisna masuk ke dalam, namun dia tidak pernah keluar.
Sebenarnya, sebesar apa rumah sakit ini sehingga dia butuh waktu lama hanya untuk berkeliling saja.
Ketika aku sedang berfikir seperti itu, tiba-tiba, tepat di sudut mata kananku, aku melihat sesuatu yang bergerak di antara semak-semak yang kini menutupi parkiran.
Gerakannya sangat cepat, aku bisa melihat semak-semak itu bergerak pelan dengan bayangan hitam yang melintas dan menghilang begitu saja di dalam kegelapan.
“Siapa disana?!”
Aku kembali berdiri, jantungku terasa langsung melompat ketika melihat hal tersebut.
Aku langsung menatap tajam ke arah semak-semak itu, dan sepertinya tidak ada apa-apa disana.
Semak-semak itu hanya bergoyang pelan seperti tertiup oleh angin malam, dan hal itu membuatku langsung mengusap wajahku dengan kasar, dan secara tidak sadar, wajahku mulai berkeringat dingin ketika aku melihat bayangan itu disana.
“Jangan parno gitu Wisnu, ayo berani, berpikir logis, jangan gara-gara catatan kakakmu ini kamu langsung berfikir aneh-aneh dan membuat semua hal di sekitarmu jadi menyeramkan.”
Aku bergumam sendiri sambil kembali duduk, berusaha untuk menenangkan diriku sendiri agar bisa berfikir rasional.
Aku memang tahu pasti tempat ini angker, apalagi ini adalah rumah sakit dan terbengkalai, namun aku juga harus bisa memastikan mana yang beneran asli dan mana yang hanya ulah pikiranku saja.
Aku kembali menarik kembali napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, dan tepat di saat itulah, aku benar-benar yakin, bahwa ini bukanlah kesalahan dari dalam pikiranku sekarang.
Udara malam yang seharusnya aku hirup secara tiba-tiba bercampur dengan bau yang lain, bukan bau tanah basah atau daun-daun busuk yang berserakan di sekitar pos, tapi sebuah bau tajam seperti bau-bau obat yang sering tercium ketika berada di dalam rumah sakit yang masih berpenghuni.
Baunya begitu kuat, begitu nyata, seolah-olah bau itu tumpah di dekat pos jaga sehingga tercium hingga ke dalam.
Kali ini, aku tidak bisa menenangkan pikiranku, semuanya begitu nyata, bulu kudukku langsung berdiri secara serentak.
Aku langsung menoleh ke segala arah untuk mencari sumbernya, aku benar-benar merasa tidak tenang ketika berada di dalam pos ini, aku seketika keluar dari pos dengan terburu-buru.
Dan tepat ketika aku keluar dari sana.
“Ko hilang…” gumamku.
Bau obat-obatan itu mendadak hilang, bau itu seperti berkumpul di dalam pos jaga dan ketika aku keluar, tidak ada bau yang tercium sekarang.
Semuanya lenyap tanpa jejak, aku kembali masuk ke dalam pos secara perlahan, dan ketika aku masuk kembali, bau itu tidak tercium lagi.
Sebenarnya, apa ini? apa ini yang dirasakan oleh kakakku setiap bekerja di tempat ini?
Aku benar-benar bingung sekarang, apa kakak sebegitu inginnya aku lulus kuliah sehingga dia tahan dengan semua ini?
Aku benar-benar terdiam, nampaknya aku benar-benar meremehkan pengorbanan kakak sekarang, dan aku baru merasakan bagaimana rasanya menjadi kakakku yang kini sudah meninggal dengan segala hal yang dirasa aneh ketika dia sedang bekerja.
PRANG!!!
Di saat aku sedang melamun dan memikirkan kakakku diluar pos jaga itu, aku tiba-tiba dikagetkan oleh suara keras dari pagar seng yang menutupi seluruh rumah sakit ini.
Asal suaranya dari arah gerbang, dan itu bukan suara ranting atau kerikil, tapi suara yang keras seperti batu besar yang dilempar begitu saja dari luar.
Seluruh tubuhku membeku, mataku tiba-tiba terpaku kepada gerbang dari kejauhan, lalu setelah itu.
Tok… tok… tok…
Gerbang yang terkunci itu seperti ditarik dari luar, lalu terdengar seseorang yang mengetuk gerbang yang tertutup seng itu dari arah luar.
Siapa? siapa yang datang dan mengetuk gerbang rumah sakit ini malam-malam?
Pikiranku langsung teringat dengan catatan yang kakak tulis, bahwa aku harus mengabaikan ketukan itu apapun yang terjadi.
Tok…tok…tok…
Suara itu terdengar lagi, dengan suaranya yang pelan dan tanpa henti.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil mundur selangkah dan menjauhi gerbang, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa sekarang.
Apakah aku harus tetap bertahan dengan suara itu hingga hilang dengan sendirinya? atau aku harus mencari bantuan kepada Pak Tisna yang ada di dalam sana.
Di tengah-tengah kepanikan itu, aku langsung melirik ke arah rumah sakit yang ada di belakangku.
Disana, di balik jendela kotor yang ada di lantai dasar, aku melihat sebuah cahaya senter yang terang secara tiba-tiba menyala, dia seperti sedang berjalan di koridor lantai bawah sehingga aku yakin itu adalah cahaya senter dari Pak Tisna.
Suara ketukan di gerbang itu masih terdengar pelan, dan aku mencoba untuk mengabaikannya dan langsung berlari ke arah sumber cahaya itu yang ada di dalam sana.
Dengan senter yang aku pegang dari dalam pos jaga, aku langsung berteriak sambil membuka pintu kaca rumah sakit itu dari depan.
“PAK TISNA! TUNGGU PAK!” teriakku dengan suara yang keras.
Aku mendorong pintu kaca lobi itu dengan berat, suara decitnya terasa memilukan ketika aku buka.
Aku langsung melangkah masuk ke dalam kegelapan malam, dan tanpa berpikir panjang, aku langsung masuk ke arah koridor dimana aku melihat cahaya tersebut.
Cahaya dari senter ku kini mulai menerangi koridor itu, memperlihatkan suasana kursi-kursi tunggu yang berdebu dengan kertas-kertas yang berserakan di lantai.
Aku melangkah jauh lebih dalam, mencoba mengikuti arah dimana aku terakhir kali cahaya senter Pak Tarno terlihat dari luar.
Tapi, ketika aku sampai di koridor itu, cahaya senter yang aku lihat mendadak hilang, bahkan suara jejak kaki yang seharusnya aku dengar di dalam keheningan ini mendadak lenyap.
Entah apa yang terjadi, namun ketika aku berteriak untuk memanggil Pak Tisna, tidak ada jawaban disana, dan hal itu membuatku terjebak di dalam rumah sakit yang terbengkalai ini sekarang.
Di saat aku terdiam karena aku tidak menemukan Pak Tisna, sesuatu terjadi.
Kraaak…
Suara pintu yang tadi aku buka di lobby tiba-tiba tertutup, dan hal itu membuatku langsung berbalik arah dengan rasa takut yang mulai menjalar ke seluruh tubuhku pada malam itu.
Komentar
Posting Komentar